Zakat, Identitas Muslim Muslimah
Oleh : Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M.
Ketua Dewan Pengawas Syariah YBM BRILiaN
Guru Besar Fakultas Syariah & Hukum Universitas Islam Negeri (FSH UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Katakan (ya Muhammad): “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia (biasa) seperti kamu, (hanya saja) diwahyukan kepada aku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa; maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada Nya dan mohonlah ampunan kepada–Nya. Dan kecelakaan besarlah bagi orang orang yang mempersekutukan–Nya. (Yaitu) orang orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir (tidak percaya) akan adanya (kehidupan) akhirat (Q.S. Fussilat : 6-7)
Setiap muslim dan muslimah harus mengerti bahwa zakat adalah salah satu dari rukun Islam (arkanul Islam). Oleh karena itu, penunaian zakat oleh seorang muslim hukumnya adalah wajib. Lebih dari sekedar itu, penunaian zakat adalah identitas riil yang membedakan orang untuk dikategorikan sebagai seorang muslim atau kafir bahkan musyrik.
Identitas identik dengan jati diri. Jati diri adalah ciri-ciri, gambaran atau keadaan khusus seseorang atau benda. Bisa juga diartikan dengan inti, jiwa, semangat, dan daya gerak dari dalam; atau spiritualitas (KBBI, 2015, 517 & 570). Demi mengenali jati diri seseorang, demikian banyak ciri-ciri yang disematkan oleh manusia kepada manusia. Mulai dari nama, jenis kelamin, bahasa, alamat, etnik/suku, kebangsaan/kewarganegaraan, profesi, pakaian, seni, budaya, dan lain-lain. Maknanya, untuk mengenali dan mengenalkan lebih jauh seseorang, diperlukan identitas atau jati diri yang sesungguhnya.
Semakin banyak identitas yang diketahui, semakin mudah dan mendalam bagi kita untuk mengenali jati diri seseorang. Identitas ada yang berbentuk perkataan, ada pula yang berwujud tulisan. Khusus untuk ciri-ciri tertentu, identitas seseorang atau lembaga harus dituliskan.
Identitas Agama
Salah satu identitas lain yang tidak kalah penting dibandingkan dengan sejumlah identitas lain ialah identitas agama seseorang. Dengan kalimat lain, agama: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, dan lainnya termasuk ke dalam salah satu ciri dari jati diri seseorang. Bagi bangsa dan negara yang beragama semacam Indonesia, identitas keagamaan jelas memiliki fungsi dan nilai guna. Intinya, identitas agama/keagamaan dipastikan memiliki fungsi tersendiri yang khas yang tidak bisa digantikan oleh identitas yang lain. Lebih dari sekedar fungsional formal administratif sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan negara yang berhubungan dengan data kependudukan pada satu sisi dan data keagamaan pada sisi yang lain, identitas agama dan keagamaan jelas memiliki makna dan nilai guna yang sangat banyak dalam lingkup kehidupan umat beragama yang dijamin konstitusi. Bukan semata terkait dengan ihwal kelahiran, perkawinan, perceraian dan kematian sebagaimana diungkap sebelum ini; akan tetapi, juga terhubung langsung dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk dengan urusan lembaga Kepresidenan yang mana seorang Presiden dan Wakil Presiden terpilih harus disumpah terlebih dahulu sebelum memangku Jabatannya (UUD NRI 1945, Pasal 9 ayat (1)). Demikian halnya dengan para pemimpin negara dan/atau pemimpin pemerintahan bahkan sampai Aparatur Sipil Negara (ASN) harus lebih dulu disumpah menurut agama masing-masing sebelum dilantik secara resmi sebagai abdi negara.
Zakat merupakan identitas keislaman seseorang. Ketaatan seorang pemeluk agama Islam sejatinya bisa diukur dari jati diri seorang muslim itu sendiri dalam mengamalkan rukun agama (Islam) yang dipeluknya termasuk pengamalan zakat. Sebagaimana diketahui bahwa Islam adalah agama Allah yang menjunjung tinggi identitas keagamaan. Penetapan ikrar dua kalimah syahadat secara terbuka bagi setiap insan yang menyatakan diri sebagai muslim, merupakan salah satu buktinya. Bukti lain adalah penegakkan salat (lima waktu) yang meskipun pelaksanaannya ada yang dibolehkan sendiri-sendiri (munfarid) dengan bacaan yang tidak bersuara pula (sirr) seperti halnya salat zhuhur dan asar; namun ada juga salat yang disertai bacaan jahar (bersuara) yakni salat maghrib, isya, subuh; tarawih, id, dan lain-lain. Demikian pula halnya dengan puasa Ramadhan, haji dan umrah yang pada umumnya dilakukan secara transaparan atau bahkan terbuka untuk umum dan di muka umum.
Bagaimana halnya dengan zakat yang tengah kita bahas di dalam tulisan ini ? Zakat jelas menjadi salah satu identitas konkrit dan riil bagi bagi pembuktian keislaman seorang muzakki. Meskipun ada ayat Qur’an dan matan Hadits yang mempersilahkan muzaki dan munfik untuk membayarkan zakat/infak/sedekahnya secara tertutup, namun pada saat yang bersamaan ayat Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW juga membolehkan untuk melunasinya dengan secara terbuka. Allah SWT berfirman:
“Jika kamu Menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al-Baqarah : 271).
Guna menjawab pertanyaan “Apakah zakat juga berfungsi sebagai identitas bagi keislaman seseorang ?” Jawabannya ada pada ayat Qur’an yang dikutipkan pada bagian awal tulisan ini (QS. Fussilat : 5-6). Menurut ayat ini, orang yang enggan membayar zakat, “sah” hukumnya untuk digolongkan ke dalam deretan orang orang musyrik dan orang orang kafir.