Menyimak Kembali Perjalanan Isra Mikraj

08 Februari 2024

Isra Mikraj, malam ajaib yang memikat hati umat Islam setiap tahunnya. Kisah luar biasa perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjid Al Haram di Mekah ke Masjid Al Aqsha di Palestina, dan kemudian menembus langit-langit ke-7 menuju Sidratil Muntaha.

Pada bulan Rajab, umat Islam memperingati peristiwa penting ini sebagai momen penuh keagungan. Inilah malam di mana Allah menunjukkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya kepada Nabi Muhammad SAW. Kisah Isra diabadikan dalam surat Al Isra’ (17) ayat 1, sedangkan kisah Mikrajnya tergambar dalam surat Al Najm ayat 13-18 yang artinya : “Sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain. (Yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada syurga tempat tinggal (Al Ma’wa). (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatan (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu, dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya Dia (Muhammad) telah melihat (pula) sebahagian tanda tanda (kebesaran) Rabb nya yang paling besar.

Malam itu terjadi pada bulan Rajab tahun ke-10 kenabian, satu tahun sebelum Hijrah Nabi dari Mekah ke Madinah. Banyak yang meyakini bahwa tanggal 27 Rajab menjadi titik puncak perjalanan ini. Indonesia bahkan menetapkan tanggal ini sebagai hari libur nasional untuk menghormati perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW.

Rajab, selain berarti malu (istahya) dan takut/kawatir (arjaba), juga bermakna menghormati dan mengagungkan (‘azhzhama). Makna ini selaras dengan perjalanan Isra Mikraj, di mana Nabi Muhammad SAW meraih kemuliaan setelah melalui masa sulit dan penuh tantangan.

Pada tahun duka menjelang Isra Mikraj, Nabi menghadapi cobaan berat. Nabi Muhammad SAW telah mendakwakan agama Islam di Mekah, sekitar sembilan tahun sejak kenabiannya, namun belum juga mendapatkan pengikut yang banyak, jumlahnya hanya belasan hinga sekitar 60 orang saja. Akibatnya, Nabi kerap diolok, dicemooh, diejek, dihina bahkan disakiti oleh oknum bangsa Mekah kala itu. Dari pengikut yang sedikit, itu satu dua orang yang menjadi tulang punggung bagi pengembangan dakwah Islamiahnya telah wafat. Terutama istri tercinta Nabi Muhammad SAW, Siti Khadijah r.a., dan paman kebanggaannya yang bernama Abu Thalib yang menyebabkan tahun jelang Isra Mikraj dijuluki dengan tahun duka (‘am al huzn).

Tujuan Allah mengisramikrajkan Nabi Muhammad SAW ialah agar Allah perlihatkan (sebagian kecil) dari tanda-tanda kebesaran-Nya kepada nabi Muhammad SAW. Dalam bahasa Al Qur’an, “linuriyahu min aayaatinaa,” dan “wa laqad ra’aa min aayaatih al kubraa.” Maknanya, baik peristiwa Isra maupun Mikraj, keduanya adalah sarana untuk menunjukkan (sebagian) tanda-tanda kebesaran Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Baik kebesaran Allah yang ada di bumi sebagaimana disimbolkan dengan perjalanan Isra dari Mekah ke Palestina; maupun (sebagian) tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di langit, sebagaimana tersimbolkan dengan perjalanan nabi dari Masjid Al Aqsha ke Sidratil Muntaha.

Meski pada zamannya mungkin dianggap tidak rasional, kita, di era modern, dapat memahaminya dengan bantuan ilmu pengetahuan. Isra Mikraj tetap menjadi kebenaran yang kokoh, dan “oleh-oleh” berharga dari perjalanan ini adalah salat lima waktu yaitu tuntunan ibadah kepada Sang Pencipta.

Referensi:

Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. 2019. Menyimak Kembali Isra Miraj.  Buletin Hikmah Edisi 62.

Share:

Artikel Terkait