Curhat Nabi Zakariya

04 September 2023

Oleh :
Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M.
Ketua Dewan Pengawas Syariah YBM-BRILiaN
Guru Besar Fakultas Syariah & Hukum
Universitas Islam Negeri (FSH-UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

“Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (Maryam (19): 96).

Curahan hati (curhat), pada dasarnya adalah milik semua orang. Tidak terkecuali di kalangan para nabi dan rasul Allah sekalipun sebagaimana dikisahkan dalam Al Qur’an. Diantaranya curhat Nabi Zakariya ‘alaihis-salam berkenaan dengan pengalaman empiriknya yakni kehidupan rumah tangga yang belum juga dikaruniai keturunan meskipun sudah berlangsung puluhan tahun. Padahal, sebagaimana lazimnya pasangan suami – istri termasuk pasangan Zakariya dan Asya’ binti Faqudz bin Mayl yang telah terlalu lama mendambakan kehadiran momongan.

Meskipun demikian, Nabi Zakariya tidak henti-hentinya mendoa kepada Allah ‘Azza wa-Jalla supaya dikaruniai seorang anak. Meskipun kepalanya sudah beruban dan secara fisik sudah tidak digdaya atau bahkan sering merasa sakit, Nabi Zakariya-pun tidak kuasa menyimpan rasa gelisah yang menderanya cukup lama. Dalam suasana kebatinan yang seperti itu, Nabi Zakariya tetap tak bergeming untuk terus-menerus mendoa kepada-Nya. Sebagian curhat Nabi Zakariya ini diabadikan Al Qur’an dalam surat Maryam (19) yang juga dinamai dengan surat Kaf Ha Ya ‘Ain Shad. Dalam surat yang bagian terbesarnya berisikan kisah para nabi, di samping kisah Siti Maryam dengan puteranya Isa bin Maryam ‘alaihimas-salam, ini memuat juga curhatan Nabi Zakariya sebagaimana dapat dirujuk pada ayat 1 – 15 surat Maryam, yang terjemahan ayat 1 – 11-nya adalah sebagai berikut:

Kaf Ha Ya ‘Ain Shad! (yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang Rahmat Rabb kamu (Muhammad) kepada hamba-Nya, Zakariya, (yaitu) tatkala dia berdoa kepada Rabbnya dengan suara sayup-sayup. Dia mendoa: “Ya Rabb-ku! Sesungguhnya tulangku ini telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban; dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, Ya Rabb-ku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku [orang yang akan meneruskan tugas-tugas kenabiannya) sepeninggal aku, dan isteriku adalah seorang (perempuan) yang mandul. Maka anugerahilah daku (ya Rabb) seorang putera dari sisi Engkau. Yang (kelak) akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian (dari) keluarga Ya’qub; dan jadikanlah dia, ya Rabbku, seorang yang diridhai”. Hai Zakariya (Allah memanggilnya), sesungguhnya Kami (akan) memberikan kabar gembira, (yaitu) kamu akan (beroleh) seorang anak – namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia. Zakariya berkata: “Ya Rabbku, bagaimana (bisa) akan ada anak bagi aku, padahal isteriku adalah seorang (istri) yang mandul, dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua”. Allah berkalam: “Demikianlah (halnya)!”. Allah berkalam: “Hal itu adalah mudah bagi Aku; dan sesungguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu; padahal kamu sendiri (di waktu itu) belum ada sama sekali. Zakariya bertanya: “Ya Rabbku, berilah daku suatu tanda”. Allah berkalam: “Tanda bagi kamu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan orang lain selama tiga (hari tiga) malam, padahal kamu sehat”. Maka ia (Zakariya) keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan waktu petang. (Maryam (19): 1 – 11).

Dari terjemahan ayat 1 – 15 surat Maryam di atas, dapatlah diambil beberapa pemahaman sebagai berikut:

Pertama, Nabi Zakariya mengalami ujian berat dari Allah SWT, yakni belum juga dikaruniai seorang anak meskipun sudah mendoa dalam jangka waktu puluhan tahun.

Kedua, Nabi Zakariya adalah seorang Nabi Allah yang sangat sabar dengan keyakinannya yang ultra teguh. Meskipun beliau sadar betul bahwa kemungkinan dirinya akan memperoleh seorang anak (keturunan) itu bisa dikatakan mustahil, mengingat dirinya sudah sepuh, sementara istrinya juga sudah tua dan bahkan mandul (‘aqir); tetapi Zakariya pantang menyerah untuk terus mendoa kepada-Nya.

Ketiga, kegigihan Nabi Zakariya dalam hal meminta keturunan sebagai generasi penerus, paling tidak menurut sebagian ahli tafsir, bukan disebabkan kepentingan diri dan keluarganya semata-mata, namun lebih disebabkan kecemasannya akan keberlangsungan ajaran-ajaran agama Islam sebagaimana yang ia warisi dari para pendahulunya, Nabi Ya’qub, dan Nabi Ibrahim ‘alaihimas-salam.

Keempat, berkat doa khusus dan tulus serta khusyuk dan khudhuk kepada Allah, pada akhirnya Nabi Zakariya yang sudah manula dan istrinya yang mandul pula, itu tetap memperoleh anak dari sisi Allah Yang Maha Kuasa. Dengan kuasanya, Allah yang Maha Pemurah memberi Nabi Zakariya seorang anak yang sampai namanya juga diberikan oleh Allah SWT, suatu peristiwa langka yang sebelumnya tidak pernah terjadi.

Kelima, Sifat al-Rahman, yang kerap diartikan dengan Maha Pemurah, penyebutannya dalam surat Maryam diulang sebanyak 16 kali belum terhitung penyebutan kata rahmah sebanyak 4 kali. Ini mengisyaratkan kemurahan Allah yang tanpa batas. Ini memberikan isyarat tersendiri kepada kita semua (penulis dan pembaca) agar kiranya kita tidak boleh pesimis dalam memohonkan kebaikan apapun kepada Allah SWT, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Zakariya ‘alaihissalam. Modal utamanya ialah iman yang kuat dan amal saleh yang berkelanjutan sebagaimana termaktub dalam ayat yang dicantumkan pada bagian awal tulisan ini.

Keenam, menyimak banyak kisah nyata dalam Al Qur’an, sejatinya dapat memberikan kita pelajaran berharga dalam menapaki hidup dan kehidupan kita mulai dari muda atau bahkan sebelumnya, sampai usia lanjut sebagaimana dicontohkan Al Qur’an.

Akhirnya, sungguh malu diri dan hati rasanya kita yang dalam hal tertentu oleh Allah ‘Azza wa-Jalla diberikan nikmat lebih banyak dan lebih mudah daripada Nabi Zakariya yang untuk mendapatkan seorang anak semata wayang saja harus mendoa puluhan tahun. Camkanlah oleh kita semua wahai penulis dan pembaca yang budiman, untuk terus-menerus beriman dan beramal saleh seraya pantang untuk berhenti mendoa kepada al-Rahman, Dzat Yang Maha Pemurah dalam segala urusan. Aamiin, aamiin, aamiin, ya Rabb al-‘alamin. Semoga.

Share:

Artikel Terkait

Taubat dan Istighfar

Curhat Nabi Zakariya