Taubat dan Istighfar

08 September 2023

Oleh :
Dr. Abdurrauf, Lc., M.A.
Anggota Badan Pembina Syariah YBM-BRILiaN

“Hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) atas keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat” (QS. Hud, 11: 3)

Pengertian Taubat dan Istighfar
Kata “taubat” dan “istighfar” adalah dua istilah yang sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, karena sudah diserap dalam bahasa Indonesia, dimana keduanya berasal dari bahasa Arab. Kata “taubat” bermakna “kembali” dalam artian kembali ke jalan yang benar setelah sebelumnya melalui jalan salah dan tersesat. Bertobat kepada Allah SWT berarti kembali kepada-Nya dengan mengikuti petunjuk, bimbingan dan syariat-Nya, serta meninggalkan ajaran dan jalan yang dimurkai-Nya. (Lihat, Kitab Tazkiyatunnufus wa Tarbiyatuha Kama Yuqarriruha ‘Ulamaus Salaf, oleh Ahmad Farid, halaman 136).

Adapun “istighfar” adalah tindakan meminta maaf dan permohonan ampun (thalabul ‘afwi wal maghfirah) kepada Allah SWT atas perbuatan buruk dan dosa yang telah dilakukan. Hal ini dapat diekpresikan dalam bentuk ucapan permintaan ampun kepada Allah SWT, seperti dengan ungkapan/kalimat “astaghfirullahal ‘adzim” (artinya, aku mohon ampun kepada Allah SWT Yang Maha Agung), atau “astaghfirullahal ‘adzim wa atubu Ilayh” (artinya, aku mohon ampun kepada Allah SWT Yang Maha Agung dan aku bertaubat kepada-Nya), atau “astaghfirullahalladzi Laa ilaaha illa Huwal Hayyul Qayyum wa Atubu iLayh” (artinya, aku mohon ampun kepada Tuhan yang tiada tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup, Yang Terus Menerus Mengurusi urusan hamba-Nya, dan aku bertaubat kepada-Nya), dan lain-lain.

Dengan demikian, “taubat” dan “istighfar” adalah dua kata yang meskipun berbeda secara lafadz, tetapi pada hakikatnya saling melengkapi. Terkadang keduanya disebut berbarengan seperti dalam ayat yang mengawali tulisan ini, dan terkadang pula disebut secara terpisah dalam banyak ayat. Keduanya adalah ekspresi sikap kembalinya seseorang kepada Allah SWT karena i’tikad baik, kesadaran diri dan menyesali perbuatan dosa dan atau kesalahan dimasa lalu. Keduanya pula merupakan sarana pengakuan dosa/kesalahan dan dzikir dalam bentuk doa yang diajarkan di dalam Islam. Ayat Alquran begitu banyak memerintahkan untuk melakukannya, seperti pada firman-Nya: “… dan mohonlah ampun kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. al-Muzzammil, 73: 20) “Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. al-Nisa’, 4: 110).

Syarat-syarat Taubat
Sebagai sarana untuk mengakui dosa dan kesalahan, dalam Kitab Nuzhatul Muttaqin; Syarh Riyadhusshalihin, karya Mushtafa Sa’id al-Khinn, dkk, Bab al-Taubah, jilid 1, halaman 30 terdapat penjelasan mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang ingin “kembali” kepada Allah SWT. Dalam kitab ini, beliau menjelaskan bahwa jika dosa/kesalahan itu berhubungan langsung dengan hak Allah SWT, maka syaratnya hanyalah 3 (tiga) yaitu, Pertama: berhenti dan berlepas diri dari dosa/kemaksiatan itu (an yuqli’a ‘an al-ma’shiyah); Kedua: menyesal telah melakukan dosa dan kemaksiatan tersebut (anyandam ‘ala fi’liha); Ketiga: bertekad untuk tidak melakukannya kembali.

Adapun jika dosa, kemaksiatan dan kesalahan itu berhubungan dengan hak-hak orang lain sesama manusia, maka syarat taubat itu ada 4 (empat), yaitu tiga syarat yang telah disebutkan sebelumnya, kemudian ditambah satu lagi yaitu, minta pembebasan dan mengembalikan hak-hak orang tersebut, sebagaimana uraian berikut:

Jika dosa/kesalahan itu bersifat materi, misalnya mengambil harta orang lain dengan cara mencuri, maka taubatnya dengan mengembalikan harta tersebut, atau memanfaatkan/menggunakan harta orang lain (disebut; ghasab) dengan sengaja tanpa sepengetahuan/izinnya, maka pengampunannya dengan cara meminta maaf kepada empunya, kecuali yang bersangkutan telah merelakan. Jika dosa/kesalahan itu bersifat non materi, misalnya menuduh seseorang telah melakukan zina tanpa alat bukti, sehingga mencemarkan nama baik yang bersangkutan, maka taubat penuduh dengan cara penegakan hukum terhadapnya, atau ia minta pemaafan dari pihak yang dituduhnya. Atau, misalnya lagi, dosa dan kesalahan itu berupa menggunjing (ghibah) orang lain, maka taubatnya dengan cara minta “dihalalkan”, dalam artian minta maaf kepada orang yang telah digunjingnya, demikian seterusnya.

Urgensi Taubat dan Minta Maaf
Sebagaimana yang dijelaskan di awal bahwa taubat dan istighfar merupakan bentuk sarana pengakuan atas kelupaan diri terhadap perintah Allah SWT, sehingga melakukan dosa dan kesalahan. Dosa dan kesalahan adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh anak Adam (manusia) dalam kehidupannya, kendati bukan berarti perbuatan tersebut dapat dibenarkan. Oleh karena itu, di sinilah pentingnya taubat dan minta maaf itu sendiri. Sebab, orang yang baik bukan berarti mereka yang tidak pernah melakukan suatu dosa/kesalahan, tetapi orang yang baik itu adalah mereka yang ketika melakukan dosa/kesalahan ia segera mengakui dan menyadarinya, lalu memperbaiki diri dengan bertobat kepada-Nya. Rasulullah SAW sendiri mengakui hal tersebut sebagaimana dalam sabda beliau: “Setiap bani Adam itu (pernah) berbuat dosa/kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat dosa itu adalah yang bertaubat” (HR. Ibnu Majah)

Demikian pula perbuatan salah terhadap sesama kawan adalah sesuatu yang lumrah terjadi dalam pergaulan, meskipun terkadang melampaui batas. Namun, yang terpenting dalam hal ini adalah bersegera meminta maaf dan kerelaan orang tersebut, terlebih menyangkut hak adami (hak yang berhubungan dengan manusia). Sebagaimana yang pernah dijelaskan bila dosa/kesalahan itu menyangkut hak adami, maka syarat mutlak untuk diterimanya tobat itu adalah minta dihalalkan/dibebaskan/dimaaan.

Dalam kaitan hak adami ini Rasulullah SAW sering mengingatkan kita dalam berbagai hadits beliau, di antaranya: “Barangsiapa yang pernah berbuat dzalim (dosa/kesalahan) terhadap saudaranya, baik menyangkut kehormatan atau harta benda, hendaklah ia segera meminta dihalalkan sekarang juga, sebelum datang hari dimana dinar dan dirham tidak bermanfaat/berguna lagi (maksudnya hari kiamat). Jika ia mempunyai pahala amal shalih, maka pahala tersebut akan diambil sesuai kadar kedzalimannya (untuk diberikan kepada orang yang didzaliminya). Jika ia sudah tidak mempunyai pahala kebaikan sama sekali, maka dosa orang yang dianiaya (didzalimi) itu akan diambil dan dibebankan/ditimpakan kepadanya” (HR. Bukhari).

Hadits yang terakhir ini menjelaskan betapa pentingnya meminta maaf dari orang yang pernah kita dzalimi, sakiti, ambil haknya baik bersifat materi maupun non materi, tentu dengan harapan agar ketika kembali ke haribaan Allah SWT kita tidak membawa beban dosa dan kesalahan yang menyangkut hak adami.

Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat menambah wawasan keislaman kita semua, amin. Wallahu A’lam

Share:

Artikel Terkait

Taubat dan Istighfar

Curhat Nabi Zakariya